Review Novel Gajah Mada #2
Gajah Mada: Bergelut Dalam Kemelut Takhta dan Angkara by Langit Kresna Hariadi
My rating: 3 of 5 stars
Uh yeah... one down :) . Tidak seperti buku pertamanya, untuk buku kedua ini saya lumayan cepat bisa menyelesaikannya meski disela-sela berbagai aktifitas. Sebagai lanjutan dari buku ke-dua buku ini memulai kisahnya sejak berakhirnya kekuasaan Jayanegar di Majapahit. Dengan mangkatnya Jayanegara, tampuk kepemimpinan Majahpahit untuk sementara dipegang oleh Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri ibunda dari Sri Jayanegara. Majahpahit diperhadapkan pada pertanyaan siapa yang akan diangkat menggantikan Jayanegara. Pengganti Jayanegara haruslah seorang Ratu karena pilihan hanya ada dua yaitu pada kedua adik kandung Jayanegara yang dua-duanya adalah putri yaitu Tribuana Tungga Dewi dan Dyah Wiyat. Siapakah yang layak jadi Ratu? Haruskah yang sulung selalu menang dan adik mengalah? Ternyata menentukan pengganti Jayanegara buan hal yang mudah meski pilihan hanya dua. Kekuatan besar yang berada dibalik Cakradara (suami Tribuana) dan Kudamerta (suami Dyah Wyat) ikut bermain, memanfaatkan peluang mendapatkan kekuasaan. Belumlagi gejolak pemberontakan yang terus digelorakan orang-orang yang sakit hati dan memiliki dendam pribadi terhadap Majahpahit. Semuanya dikisahkan dengan sangat menarik dalam novel ini.
Saya mengapresasi kreatifitas pengarang dalam meriset budaya sendiri, merogoh kedalam reservoir warisan budaya lokal untuk diangkat dan disajikan dalam bentuk Novel yang menarik. Penampilan Gajahmada sebagai superhero yang dalam buku ini memberikan contoh nasionalisme dan patriotisme seorang pemimpin yang cintah tanah air dan bangsanya. Alur cerita yang disuguhkan cukup menantang dan rumit sehingga pembaca tidak akan merasa bosan dengan cerita yang monoton. Didalamnya ada kisah seruh dan menegangkan dari kisah pertempuran dan sepak terjang para prajurit bayangkara yang dikisahkan sebagai pengawal ring 1 Majahpahit yang terdiri dari pendekar-pendekar pilih tanding namun ada juga kisah sedih yang mengharu biru perasaan seperti kisah seorang isteri yang memilih mati lampus (bunuh diri) mengikuti suaminya yang gugur sebagai kesatria. Semuanya diramuh dengan amat rapi sehingga membuat pembaca penasaran dengan jalan cerita. Akhir cerita juga sungguh diluar dugaan. Berbeda dengan buku pertama yang salah satu pertanyaan utamnnya sangat gaampang ditemukan jawaqbannya dilembaran akhir, pada buku ini pengarang sudah cukup cekatan menyembunyikan ending cerita dan memang kenyataannya endingnya cukup surprise.
Setiap buku pastilah ditulis dengan membawa message dari penulisnya namun dibuku ini seperti buku satu, kesempatanh itu tidak digunakan oleh pengarang. Saya tidak melihat pengarang menggarisbawahi pesan-pesan khusus tertentu yang secara pribadi ingin disampikan kepada pembaca. Mungkin juga penulis tidak ingin tampil menggurui pembaca dan ingin menyerahkan semua refleksi cerita kepada pembaca. Namun tanpa kehadiran pesan bergaris bawah itu, novel ini hanya tampil sebagai dongeng belaka. Inti dan makna cerita biarlah pembaca yang renungkan sendiri. Sekali lagi point ini masih belum mengalami kemajuan dari buku pertamanya.
Tiga bintang cukup dari saya, saya menikmati alur ceritanya yang seruh dan penasaran dengan buku ketiga tetapi kehilangan jejak pribadi dari penulis.
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
Uh yeah... one down :) . Tidak seperti buku pertamanya, untuk buku kedua ini saya lumayan cepat bisa menyelesaikannya meski disela-sela berbagai aktifitas. Sebagai lanjutan dari buku ke-dua buku ini memulai kisahnya sejak berakhirnya kekuasaan Jayanegar di Majapahit. Dengan mangkatnya Jayanegara, tampuk kepemimpinan Majahpahit untuk sementara dipegang oleh Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri ibunda dari Sri Jayanegara. Majahpahit diperhadapkan pada pertanyaan siapa yang akan diangkat menggantikan Jayanegara. Pengganti Jayanegara haruslah seorang Ratu karena pilihan hanya ada dua yaitu pada kedua adik kandung Jayanegara yang dua-duanya adalah putri yaitu Tribuana Tungga Dewi dan Dyah Wiyat. Siapakah yang layak jadi Ratu? Haruskah yang sulung selalu menang dan adik mengalah? Ternyata menentukan pengganti Jayanegara buan hal yang mudah meski pilihan hanya dua. Kekuatan besar yang berada dibalik Cakradara (suami Tribuana) dan Kudamerta (suami Dyah Wyat) ikut bermain, memanfaatkan peluang mendapatkan kekuasaan. Belumlagi gejolak pemberontakan yang terus digelorakan orang-orang yang sakit hati dan memiliki dendam pribadi terhadap Majahpahit. Semuanya dikisahkan dengan sangat menarik dalam novel ini.
Saya mengapresasi kreatifitas pengarang dalam meriset budaya sendiri, merogoh kedalam reservoir warisan budaya lokal untuk diangkat dan disajikan dalam bentuk Novel yang menarik. Penampilan Gajahmada sebagai superhero yang dalam buku ini memberikan contoh nasionalisme dan patriotisme seorang pemimpin yang cintah tanah air dan bangsanya. Alur cerita yang disuguhkan cukup menantang dan rumit sehingga pembaca tidak akan merasa bosan dengan cerita yang monoton. Didalamnya ada kisah seruh dan menegangkan dari kisah pertempuran dan sepak terjang para prajurit bayangkara yang dikisahkan sebagai pengawal ring 1 Majahpahit yang terdiri dari pendekar-pendekar pilih tanding namun ada juga kisah sedih yang mengharu biru perasaan seperti kisah seorang isteri yang memilih mati lampus (bunuh diri) mengikuti suaminya yang gugur sebagai kesatria. Semuanya diramuh dengan amat rapi sehingga membuat pembaca penasaran dengan jalan cerita. Akhir cerita juga sungguh diluar dugaan. Berbeda dengan buku pertama yang salah satu pertanyaan utamnnya sangat gaampang ditemukan jawaqbannya dilembaran akhir, pada buku ini pengarang sudah cukup cekatan menyembunyikan ending cerita dan memang kenyataannya endingnya cukup surprise.
Setiap buku pastilah ditulis dengan membawa message dari penulisnya namun dibuku ini seperti buku satu, kesempatanh itu tidak digunakan oleh pengarang. Saya tidak melihat pengarang menggarisbawahi pesan-pesan khusus tertentu yang secara pribadi ingin disampikan kepada pembaca. Mungkin juga penulis tidak ingin tampil menggurui pembaca dan ingin menyerahkan semua refleksi cerita kepada pembaca. Namun tanpa kehadiran pesan bergaris bawah itu, novel ini hanya tampil sebagai dongeng belaka. Inti dan makna cerita biarlah pembaca yang renungkan sendiri. Sekali lagi point ini masih belum mengalami kemajuan dari buku pertamanya.
Tiga bintang cukup dari saya, saya menikmati alur ceritanya yang seruh dan penasaran dengan buku ketiga tetapi kehilangan jejak pribadi dari penulis.
View all my reviews
Posting Komentar untuk "Review Novel Gajah Mada #2"