Review Go Set A Watchman
Go Set a Watchman by Harper Lee
My rating: 4 of 5 stars
I love it. Oh ... akhirnya selesai juga, bukunya cukup tipis hanya 288 lbr tapi ditengah bnyk tugas baru selsai setelah hampir sebulan mendekam di kantong tas. Setting tempatnya adalah di sebuah kota kecil yang pendudukanya sangat saling mebgenal sehingga bau gas tetangga sebelah dapat dikenali seluruh kampung. Cerita utama adalah konflik dalam keluarga menyikapi isu rasisme di Amerika tepatnya ketika gerakan anti segregasi yang dimotori MLK dan kawan2nya mulai memasuki tahap yang genting. Jean Louis, tokoh utamanya, yang digambarkan tomboi dan idealis pulang kampung dari kota besar NY dan mendapati kota kecilnya sedang bergolak dengan isu segregasi. Dia sangat kecewa karena mendapati ayahnya dan calon suaminya menghadiri pertemuan organisasi klan yang sangat dia benci karena organisasi itu ingin agar pemerintah tetap mempertahankan pemisahan warga kulit hitam dari kulit putih. Jean Louis bingung dan kecewa berat karena merasa dikhianati oleh Ayahnya yang telah mengajarkan kepadanya dari kecil bahwa semua manusia memiliki hak yang sama dimuka hukum dan masyarakat, memiliki hak yang sama untuk diperlakukan secara bermartabat, memiliki hak yang sama untuk hidup, bekerja, mendapat pendidikan yang baik dst... Pada bagian ini ceritanya menjadi sangat menarik. Penulis senatural mungkin mendeskripsikan emosi tokoh-tokoh cerita, dan membuat pembaca seolah-olah juga ikut mengalami emosi (jengkel, marah, bingung, frustrasi) yang dirasakan tokoh cerita. Ketika kita merasa benar sangat mudah untuk meluncurkan semua perbendaharaan kalimat negatif bagi orang lain yang kita serang, tak ada sisa ruang bagi mereka untuk bernafas. Apakah memang selalu begitu? Apakah memberikan ruang bagi mereka "bernafas" memang berarti mengkhianati diri sendiri? Itu semua terserah pembaca. Satu hal yang pasti adalah tidak ada tempat untuk rasisme.
Saya juga menyukai hal-hal lucu yang membumbuhi cerita ini disana-sini. Yang paling lucu adalah cerita tentang JL yang memakai payudara palsu ketika ke pesta sekolah yang berakhir dengan dihukumnya seluruh siswa karena dianggap berperilaku tidak sopan, masih membuat saya senyum-senyum ketika menulis review ini. Kejadiannya sederhana tetapi dideskripsikan cukup panjang dengan kalimat yang sangat netral dan rapi sehihngga memberi pembaca waktu yang cukup lama untuk tertawa melupakan masalah serius (ras dan hak asasi). Saya suka gaya bercerita Harper Lee.
Kutipan yang paling berkesan bagi saya adalah “Remember this also: it’s always easy to look back and see what we were, yesterday, ten years ago. It is hard to see what we are. If you can master that trick, you’ll get along.” Saya kira memang permasalahannya adalah masalah sekarang. dimana sekarang? bagaimana sekarang? , harus ngapain sekarang? dst. oya berikutnya baca apa ya? :)
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
I love it. Oh ... akhirnya selesai juga, bukunya cukup tipis hanya 288 lbr tapi ditengah bnyk tugas baru selsai setelah hampir sebulan mendekam di kantong tas. Setting tempatnya adalah di sebuah kota kecil yang pendudukanya sangat saling mebgenal sehingga bau gas tetangga sebelah dapat dikenali seluruh kampung. Cerita utama adalah konflik dalam keluarga menyikapi isu rasisme di Amerika tepatnya ketika gerakan anti segregasi yang dimotori MLK dan kawan2nya mulai memasuki tahap yang genting. Jean Louis, tokoh utamanya, yang digambarkan tomboi dan idealis pulang kampung dari kota besar NY dan mendapati kota kecilnya sedang bergolak dengan isu segregasi. Dia sangat kecewa karena mendapati ayahnya dan calon suaminya menghadiri pertemuan organisasi klan yang sangat dia benci karena organisasi itu ingin agar pemerintah tetap mempertahankan pemisahan warga kulit hitam dari kulit putih. Jean Louis bingung dan kecewa berat karena merasa dikhianati oleh Ayahnya yang telah mengajarkan kepadanya dari kecil bahwa semua manusia memiliki hak yang sama dimuka hukum dan masyarakat, memiliki hak yang sama untuk diperlakukan secara bermartabat, memiliki hak yang sama untuk hidup, bekerja, mendapat pendidikan yang baik dst... Pada bagian ini ceritanya menjadi sangat menarik. Penulis senatural mungkin mendeskripsikan emosi tokoh-tokoh cerita, dan membuat pembaca seolah-olah juga ikut mengalami emosi (jengkel, marah, bingung, frustrasi) yang dirasakan tokoh cerita. Ketika kita merasa benar sangat mudah untuk meluncurkan semua perbendaharaan kalimat negatif bagi orang lain yang kita serang, tak ada sisa ruang bagi mereka untuk bernafas. Apakah memang selalu begitu? Apakah memberikan ruang bagi mereka "bernafas" memang berarti mengkhianati diri sendiri? Itu semua terserah pembaca. Satu hal yang pasti adalah tidak ada tempat untuk rasisme.
Saya juga menyukai hal-hal lucu yang membumbuhi cerita ini disana-sini. Yang paling lucu adalah cerita tentang JL yang memakai payudara palsu ketika ke pesta sekolah yang berakhir dengan dihukumnya seluruh siswa karena dianggap berperilaku tidak sopan, masih membuat saya senyum-senyum ketika menulis review ini. Kejadiannya sederhana tetapi dideskripsikan cukup panjang dengan kalimat yang sangat netral dan rapi sehihngga memberi pembaca waktu yang cukup lama untuk tertawa melupakan masalah serius (ras dan hak asasi). Saya suka gaya bercerita Harper Lee.
Kutipan yang paling berkesan bagi saya adalah “Remember this also: it’s always easy to look back and see what we were, yesterday, ten years ago. It is hard to see what we are. If you can master that trick, you’ll get along.” Saya kira memang permasalahannya adalah masalah sekarang. dimana sekarang? bagaimana sekarang? , harus ngapain sekarang? dst. oya berikutnya baca apa ya? :)
View all my reviews
Posting Komentar untuk "Review Go Set A Watchman"