Review Buku Max Havelaar
Judul buku: Max Havelaar
Pengarang: Multatuli (Eduard Douwes Dekker) Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno Penerbit : Qanita, 2016 ISBN: 9786021637456 Tebal: 480 hlm
Pertama kali mendengar judul Novel ini tentunya dari pelajaran sejarah ketika di SMA. Sebuah novel yang melegenda yang disebut sebagai salah satu tonggak penting yang memunculkan perlawanan pada kekejaman penjajahan Belanda di Indonesia.
Ekspektasi saya terhadap novel ini sungguh sangat bertolak belakang dengan apa yang disajikan didalamnya. Saya membayangkan minimal akan berjumpa narasi-narasi heroik yang menentang exploitasi terhadap kaum lemah akan tetapi yang disajikan dalam novel adalah kisah-kisah satir yang cukup membuat kening berkerut.
Pada bagian-bagian awal novel hingga pertengahan. Saya bisa mengatakan bahwa 50% isi Novel mengisahkan deskripsi dan satir-satir yang seperti percakapan ngalor-ngidul, namun dengan menggeser sedikit sudut pandang, kita dapat memahami apa yang tampaknya seperti pembicaraan ngalor ngidul itu sebenarnya menyimpan sindiran yang pedas kepada Pemerintah Belanda, penduduk pribumi dan juga termasuk penguasa lokal pribumi yaitu para elit bangsawan pribumi saat itu.
Dengan mengambil sudut pandang dari niat baik sang penulislah, yakni untuk membeberkan betapa penderiataan pribumi baik secara fisik maupun bathin maka kita dapat melihat maksud tersemunyi dibalik kisah-kisah satir-satir dalam novel ini.
Diawal cerita tokoh utama adalah Batavus Drogstoppel yang adalah seorang makelar kopi yang berkantor di Amsterdam. Dia digambarkan sebagai seorang pengusaha yang pelit, penuh pertimbangan untung rugi dalam untuk membantu seseorang, penuh dengan prasangka, ia menilai kemampuan ekonomi seseorang dari penampilannya. Meskipun begitu dia menganggap dirinya adalah orang yang baik, taat beragama, mencintai kebenaran dan selalu berbuat jujur. Sementara itu dia menganggap orang miskin itu karena kesalahan mereka sendiri, kurang berusaha sehingga tidak mendapat berkat dari Tuhan.
Batavus Drogstoppel melihat kaumnya, para pengusaha eropa, sebagai orang terhormat yang sukses melalui bisnis yang jujur dan oleh karena itu mereka adalah kaum yang makmur yang menikmati berkat Tuhan dari usaha yang baik. Sepertinya penulis mempersonifikasikan Batavus sebagai wakil dari masyarakat Belanda yang berbisnis menikmati jarahan hasil bumi dari Nusantara. Mereka hidup makmur, sejahtera dengan limpahan hasil bumi Nusantara. Kopi, pala, cengkeh, padi dan rupa-rupa rempah nusantara mengalir ke negeri mereka, diputar dalam bisnis dipasar-pasar eropa dan membawa kemakmuran bagi mereka. Mereka, masyarakat belanda itu, tidak mengetahui bahwa apa yang mereka nikmati merupakan hasil jarahan.
Mereka menyombongkan diri menganggap diri mereka orang-orang baik yang menikmati keuntungan dari bisnis yang jujur tetapi mereka sesungguhnya tidak tahu bahwa ada darah, keringat, air mata dan nyawa ribuan penduduk pribumi nusantara yang mereka "nikmati" dengan sukaria dalam setiap cecap kopi yang mereka minum. Dalam setiap titik kenikmatan rempah hindia yang mereka nikmati ada penderitaan tak terperikan dari masyrakat pribumi Hindia (Indonesia). Max Havelaar terlalu berhati-hati dan terlalu "sopan" sehingga harus mutar-mutar dalam kisah satir ini untuk mengungkapkan kisah pilu ini bagi saudara sebangsanya.
Sementara itu sindiran Havelar terhadap penduduk pribumi juga tidak kurang pedas. Salah satunya diwakilkan dalam kisah si Upik Lateh dan pemecah batu. Masyarakat pribumi yang bodoh, terbelakang dan tidak terdidik ini adalah masyarakat yang hidup ditanah sorga. Tanah yang subur, kaya rempah dengan iklim tropis yang tidak mengenal cuaca ekstrim adalah surga bagi orang-orang eropa. Tetapi keterbelakangan, ketidakterdidikan, membuat mata pribumi buta dan tidak melihat surga itu. Dalam keterbelakangan mereka, penduduk pribumi bagaikan ayam-ayam yang kelaparan dilumbung padi.
Orang-orang Belanda mulanya hanya datang berdagang namun kemudian menjadi tidak tahu diri dan dengan penuh ketamakan melihat pesona kekayaan alam nusantara ditambah lagi dengan kepolosan dan kebaikan penduduk pribumi mereka tergiur untuk menguasainya.
Mereka memanfaatkan kebodohan masyarakat pribumi, mengangkat diri mereka sebagai tuan atas tanah orang-orang pribumi. Mereka lalu mengambil hasil tanah mereka dengan bayaran yang sangat rendah dan bahkan dirampas begitu saja tanpa imbalan apapun. Belum cukup sampai disitu mereka membuka lahan perkebunan dan memperbudak penduduk pribumi untuk bekerja bagi mereka agar menghasilkan rempah-rampah yang lebih banyak untuk mereka perdangangkan di eropa, memakmurkan negeri mereka dan orang-orang mereka dan mereka tidak mau tahu penderitaan yang dialami para petani, penduduk pribumi.
Selanjut berbicara tentang penindasan/penjajahan pada jaman belanda. Novel ini menyingkapkan fakta bahwa penindasan pada masa penjajahan itu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Belanda saja. Namun lebih tepatnya Belanda memanfaatkan sistem feodalisme yang menjadi sistem pemerintahan di nusantara pada masa itu.
Belanda bekerjasama dengan para bupati, para bangsawan pribumi untuk menindas rakyat. Para bangsawan dijadikan pejabat pemerintahan dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda diberikan gaji oleh Belanda lalu kemudian merekalah yang menjadi kaki tangan untuk mengeruk keuntungan dari rakyatnya sendiri, bangsanya sendiri untuk kemakmuran dirinya sendiri dan kemakmuran penjajah. Kekerasan para elit pribumi terhadap bangsanya sendiri inilah yang membuat aroma penjajahan itu semakin menyedihkan dan menyengsarakan penduduk.
Para bangsawan pribumi dan pembantu-pembantunya bertindak sewenang-wenang, merampas ternak rakyat sesuka hatinya, mempekerjakan rakyat dengan paksa di perkebunan dan sawah mereka, memungut pajak dan persembahan untuk raja dengan semena-mena tanpa peduli penderitaan yang dialami oleh rakyat.
Belanda sebagai penguasa mengetahui semua itu, tapi mereka tidak mau mengambil resiko untuk menegur para bangsawan pribumi karena resikonya adalah raja-raja itu nantinya akan memberontak dan menolak memberikan hasil bumi bagi Belanda.
Bagian tengah Novel sampai selesai memberikan penekanan pada sepak terjang Max Havelaar.
Max Havelaar adalah pejabat baru yang ditugaskan sebagai asisten Residen di lebak Banten. Dia adalah orang yang sederhana dan jujur. Dia tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dia selalu mengaji penduduk yang membantunya dan jika uangnya tidak mencukupi dia memilih untuk menangguhkan suatu pekerjaan.
Sebagai pejabat Belanda yang ingin bekerja dengan jujur. Dia mempertanyakan banyaknya laporan-laporan para pejabat yang dipalsukan, yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya kelaparan yang terjadi disuatu daerah bukan karena akibat tanam paksa yang mengakibatkan rakyat tidak sempat mengolah sawah ladang mereka sehingga mereka tidak bisa panen dan menderita kelaparan, tetapi dilaporkan sebagai akibat kekeringan yang panjang. Kasus perampasan harta benda rakyat yang dilakukan penguasa pribumi dilaporkan sebagai pembelian yang normal dan hanya kesalahpahaman. Kasus-kasus yang merupakan borok ini ditutupi agar tidak tercium ke negeri Belanda. Disinilah makna penting dari Novel ini untuk memberitakan penderitaan dan ketidakberdayaan penduduk pribumi kepada masyarakat belanda disana agar mereka tahu bahwa setiap tetes kopi hindia yang mereka minum bercampur darah, keringat dan air mata penduduk pribumi.
Sebagai kulminasi cerita Max Havelaar melaporkan kepada Residen (pejabat Belanda setingat Gubernur) tentang perilaku korup Bupati lebak (yang adalah penguasa pribumi) yang telah menindas rakyatnya sendiri dengan keterlaluan namun Residen dan Bupati malah bersekongkol membuat fitnah bagi Max Havelaar sehingga akhirnya Max Havelaar dipecat oleh pemerintah Belanda dan dipulangkan ke negerinya dalam keadaan miskin.
Hal yang menarik dari novel ini adalah:
1) Penjajahan yang diajarkan dalam sejarah di sekolah-sekolah hanya difokuskan pada bagaimana Belanda melakukan kesewenang-wenangan kepada rakyat Indonesia. Namun Novel ini memberikan prespektif baru bahwa sesungguhnya penjajahan Belanda itu diperparah oleh penjajahan yang dilakukan oleh para bangsawan yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial pada masa itu. Hal ini tidak pernah disinggung dalam buku sejarah disekolah-sekolah bahwa kaum feodal, para raja-raja pribumi dan pembesar-pembesarnya dulu adalah kaki tangan belanda dalam menjajah dan menindas rakyat sendiri dengan semena-mena.
2) Belanda memang kita kenal sebagai bangsa yang pernah merampok kekayaan alam kita pada masa kolonial tetapi juga berkat jasa Max Havelaar yang adalah orang Belanda Novel ini dituliskan dan membuat mata dunia luar terbuka terhadap penderitaan yang dialami masyarakat pribumi. Dari novel inilah kemudian terjadi pergolakan politik di belanda yang melahirkan politik etis dari pemerintah kolonial belanda. Dari politik etis inilah kemudian berdiri sekolah-sekolah yang walaupun pertama hanya dikhususkan bagi kaum bangsawan namun hadirnya sekolah-sekolah bagi pribumi ini kita ketahui merupakan lahan untuk tumbuhnya kesadaran pendahulu kita untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Sebagai penutup, meskipun buku ini termasuk buku yang alur ceritanya kurang menarik dan terkesan membingungkan/membosankan diawalnya, akan tetapi seharusnya buku ini dapat menjadi bacaan wajib sejarah di sekolah minimal pada tingkat SMA.
Selamat membaca, Salam literasi
Independent Book Review Readathon
#Readathon
#Readathonindonesia
#mizanpublishing
#digitalliterasi
#challengereview
#challenge
#bookreview
#literacy
#bookstagram
#Readathonindonesia
#mizanpublishing
#digitalliterasi
#challengereview
#challenge
#bookreview
#literacy
#bookstagram
Posting Komentar untuk "Review Buku Max Havelaar"